Maksud dari ā€œmemfasilitasiā€ menegaskan Dewan Pers hanya menyelenggarakan tanpa ikut menentukan isi dari peraturan di bidang pers. Fungsi memfasilitasi tersebut menurut Mahkamah Konstitusi telah sejalan dengan semangat independensi dan kemandirian organisasi pers.

Dengan adanya fungsi memfasilitasi maka hak organisasi pers tetap terjamin untuk mengeluarkan pikiran dan pendapatnya terhadap substansi peraturan yang akan dibentuk di bidang pers.

Hal itu bisa diartikan bahwa semua organisasi pers berbadan hukum, baik konstituen Dewan Pers atau diluar konstituen Dewan Pers dijamin dan berhak mengeluarkan pikiran dan pendapat terhadap subtansi peraturan yang akan dibentuk dibidang Pers.

Terkait pelaksanaan uji kompetensi atau sertifikasi kompetensi, menurut MK hal tersebut adalah persoalan konkret yang sudah diselesaikan melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 235/ Pdt.G/ 2018/ PN.Jkt.Pst juncto Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 331/ PDT/ 2019/ PT DKI.

Ada beda pendapat dikalangan pers Indonesia, tentang siapa yang sah menurut hukum yang berhak mengeluarkan sertifikat kompetensi wartawan. Ada yang berpendapat bahwa UU pers adalah Lex spesialis, maka Dewan Pers-lah yang berhak menyelenggarakan Uji Kompetensi Wartawan.

Perlu dipahami kita semua, dalam penerapan UU Lex spesialis mengacu kedalam Pasal 63 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.

Dari hal itu, hemat penulis, yang dianggap UU Pers sebagai UU Lex spesialis adalah dalam hal pengaturan hukumnya bukan pengaturan profesi wartawannya. Sedangkan wartawan sebagai profesi, diatur dalam perundang-undangan bahwa segala profesi masuk didalam urusan Kementerian Tenaga Kerja.

Sehingga dalam urusan sertifikasi profesi diatur didalam peraturan dan perundang undangan bahwa untukĀ  memperoleh sertifikat profesi dapatĀ  mengikuti sertifikasi kompetensi yang digelar BNSP melalui LSP.