Karena itu, jelasnya, dibutuhkan pendanaan yang memadai dalam pendidikan, penelitian, dan pengembangan teknologi diagnosis dan tata laksana kanker pada anak.

Ketua Pokja UKK Hematologi/Onkologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia, dr. Bambang Sudarmanto, SpA(K), MARS mengungkapkan, dari sekitar 4.000 dokter anak, hanya 50 dokter anak yang memiliki keahlian dalam penanganan kanker.

Kondisi itu, ujar Bambang, diperburuk lagi dengan penyebaran dokter yang belum merata atau hanya terpusat di Pulau Jawa. Padahal, ujarnya, jumlah penderita kanker anak jumlahnya 20% dari total jumlah penderita kanker.

Sebagian besar penderita kanker anak, menurut Bambang, dapat diobati dengan kemoterapi dan sebagian dengan bedah dan radioterapi. Namun, tambahnya, penyebab kematian akibat kanker anak sering terjadi akibat keterlambatan diagnosa, terjadi hambatan akses fasyankes dan kasus dropout pengobatan akibat kurangnya pengetahuan.

Juliana Hanaratri, MN dari Ikatan Perawat Anak Indonesia (IPANI) berpendapat, dalam penanganan kasus kanker anak para perawat harus terus berupaya meningkatkan keterampilannya, sesuai standar minimal yang ditetapkan International Society of Padriatic Oncology (SIOP).

Standar minimal tersebut, jelas Juliana, antara lain perawat kanker anak tidak disarankan terlalu sering dirotasi agar memiliki waktu yang cukup untuk melakukan orientasi terhadap kondisi pasien, pendidikan berkelanjutan dan memperkuat team work, karena penanganan kanker anak berlangsung dalam waktu yang cukup panjang.

Jurnalis Media Indonesia/ Award Winning Journalist Bidang Kesehatan, Siswantini Suryandari berpendapat data epidemiologis tentang kanker anak sangat diperlukan sebagai dasar dalam penentuan perkiraan kebutuhan perawatan paliatif yang dilaksanakan melalui home care maupun di poli rawat jalan.