“Sehingga pilihan amandemen UUD 1945 untuk ke-5 kalinya dinilai tepat. Namun, jika amandemen hanya terbatas pada penambahan kewenangan menyusun PPHN keterlibatan MPR dalam RAPBN, rasanya sangat nanggung dan justru akan mengganggu titik keseimbangan dan harmonisasi ketatanegaraan kita. Bahwa, Memaksa eksekutif bekerja sesuai PPHN dalam sistem presidensial, merupakan praktik Komando Politik yang tidak proporsional bagi hubungan antar lembaga eksekutif dan legislatif”, terang mantan wakil Gubernur Bengkulu ini.

Jika kita benar-benar serius melakukan pembaharuan konstitusi, tegasnya, tidak boleh setengah-setengah apalagi setengah hati sesuai kehendak politik kelompok Politik tertentu. Maka penting untuk kita kaji ulang secara detail tentang bagaimana keterkaitan kausalitas antara pasal yang satu dengan pasal lainnya.

“Kami ingin mengatakan bahwa, penambahan PPHN ataupun klausul lainnya secara parsial tentu akan mengakibatkan kerancuan konstitusi. Kita tak mungkin menugaskan presiden untuk melaksanakan tugasnya sesuai PPHN, sementara di saat yang sama presiden merasa sangat dominan (executive heavy) dengan legitimasi electoralnya sebagai daulat langsung rakyat”, ujarnya.

Bisa dibayangkan betapa rancunya sistem demokrasi konstitusional yang demikian. Kita memandang Indonesia harus memiliki pedoman pembangunan bangsa yang disebut PPHN, tapi tidak lantas menyebabkan keseimbangan politik demokrasi perwakilan yang seimbang (check and balance). Politik pengawasan dan evaluasi MPR sebagai mandataris kedaulatan rakyat dibatasi oleh kekuasaan eksekutif yang juga terlegitimasi mandat rakyat oleh pemilihan langsung.